Oleh: Safriyadin, S.Pd., Gr.
Sabtu, 06 Juli 2019
Seorang anak yang nakal di usia sekolah sering dikaitkan bahkan disalahkan pada guru di sekolah. Hal ini mengingat tugas utama guru adalah seorang pendidik. Mendidik bukan hanya sebatas proses dan kegiatan pentransferan ilmu, mendidik juga diharapkan terjadi perubahan tingkah laku secara komprehensif atau menyeluruh, yaitu aspek kognitif (pengetahuan), psikomotor (keterampilan), terlebih aspek afektif (sikap spiritual dan sikap sosial).
Salah satu
kenakalan siswa yang cukup “terkenal”, yaitu tawuran pelajar. Tahun 2018,
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mencatat kasus tawuran di Indonesia
meningkat 1,1 persen sepanjang 2018. Pada tahun sebelumnya, angka tawuran hanya
12,9 persen, tapi tahun 2018 meningkat menjadi 14 persen (Koran Tempo, 12
September 2018). Kasus tawuran hanyalah contoh kecil dari kasus kenakalan anak
di usia sekolah. Masih terdapat banyak kasus atau perilaku menyimpang anak di
berbagai aspek lainnya.
Apakah seorang
siswa nakal adalah kegagalan dalam pendidikan?, terutama ditujukan pada guru
sebagai pendidik di sekolah?. Orang-orang di luar pendidikan “melumrahkan” hal
tersebut merupakan kegagalan pendidik di negeri ini. Akan tetapi, jika hanya
dikambinghitamkan pada guru di sekolah, sebagai insan pendidik adalah salah
besar dan tidaklah benar.
Lalu, siapa saja
yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kenakalan siswa tersebut?. Disinilah
pentingnya Sinergisitas Konsep Tri Sentra Pendidikan atau Tri Pusat Pendidikan
yang dikemukakan Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara. Pendidikan yang
berhasil secara komprehensif didukung oleh kerja sistem yang konstruktif. Konsep
Tri Pusat Pendidikan mendukung keberhasilan tujuan pendidikan yang didukung
oleh berbagai komponen pendidikan. Komponen pendukung tersebut tersebar di tiga lingkungan
pendidikan, yaitu (1) lingkungan keluarga; (2) lingkungan sekolah; dan (3)
lingkungan masyarakat.
Berdasarkan konsep
Tri Pusat Pendidikan, guru hanyalah salah satu komponen di lingkungan sekolah,
sedangkan di lingkungan sekolah juga masih terdapat komponen lain yang ikut
menentukan proses pendidikan.
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), pasal 1 ayat 3
menyatakan sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan
yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Lingkungan pertama
dan utama dari konsep Tri Pusat Pendidikan adalah lingkungan keluarga. Seorang anak
lahir dan tumbuh di lingkungan pertamanya yaitu keluarga. Dipertegas dalam
UUSPN pasal 7 ayat 2 menyatakan bahwa orang tua dari anak usia wajib belajar,
berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Dari pasal tersebut,
sangatlah jelas peran keluarga (orang tua) dalam sistem pendidikan nasional. Munib
(2010: 79) menyatakan orang tua atau pengganti orang tua di lingkungan keluarga
yang menjadi pendidik dalam pendidikan keluarga karena sebagai pendidik secara
kodrati dan memiliki hubungan kependidikan bersifat cinta kasih dan alamiah.
Perhatian orang
tua di lingkungan keluarga mempunyai hubungan yang kuat terhadap proses
pendidikan anak. Hubungan yang optimal terhadap anak dapat menentukan
perkembangan anak selanjutnya ketika berada di lingkungan sekolah dengan
terbiasa pola hidup teratur dan tingkah laku yang baik sesuai tuntutan ajaran
agama dan aturan yang berlaku.
Seorang anak
memerlukan persiapan khusus untuk memasuki usia dewasa, sehingga orang tua di
lingkungan keluarga memerlukan lembaga tertentu untuk melakukan sebagian
fungsinya sebagai pendidik yaitu lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah memiliki
sumber daya manusia yang menjadi ujung tombak dari tercapainya tujuan
pendidikan yaitu seorang guru. Peran guru sebagai pendidik di sekolah merupakan
kelanjutan peran orang tua di lingkungan keluarga. Di lingkungan sekolah, guru
sebagai pendidik tentu terikat aturan yang berlaku di sekolah. Hal ini
memerlukan komponen lain sebagai pembuat kebijakan utama yakni pemerintah. Pemerintah
seperti pada pasal 10 UUSPN mempunyai andil yang sangat penting dalam
penyelenggaraan pendidikan dalam memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi.
Selain komponen
lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah, lingkungan yang berperan strategis
dalam pendidikan adalah lingkungan masyarakat. UUSPN pasal 9 menyatakan bahwa
masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan. Lingkungan masyarakat di sekitar siswa sangat berperan dalam pembentukan
karakter dan watak seorang siswa. Komponen lingkungan pergaulan sebaya siswa.
Komponen lain di lingkungan masyarakat yang berperan secara langsung maupun tidak
langsung adalah tontonan di media masa dan media sosial. Gencarnya perkembangan
teknologi informasi, memudahkan siswa mengakses infomasi di belahan dunia tanpa
batas. Di Era ini media sosial bagai pisau bermata dua dalam dunia pendidikan
anak yang berdampak positif serta dampak negatif.
Dari uraian
tersebut, sangatlah jelas bahwa “kenakalan” siswa dalam gagalnya pendidikan
tidaklah benar hanya dituntut dan dikambinghitamkan pada guru di lingkungan
sekolah. Komponen-komponen di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
lingkungan masyarakat mempunyai peran strategis dalam upaya pembentukan peserta
didik. Di Era “Zaman Now”, kita menghadapi siswa “milenial” dengan sejuta
masalah dan tantangannya. Sebagai seorang guru, dituntut bekerja lebih ekstra
keras dengan kompetensi yang dimiliki serta perilaku “meneladani” bagi anak
didik, agar tujuan pendidikan yang komprehensif dapat tercapai secara
optimal.
Keren adik guru. Lanjutkan hobi menulisnya. Smoga sukses
BalasHapusTerima kasih, Kak. Sukses jg untuk kk 😊🙏
Hapusmantap guru,,sukses selalu
BalasHapusTerima kasih. Sukses jg untukmu 🙏
BalasHapusMantap guru. Lanjutkan dengan karya karya lain.
BalasHapusMantab guru
BalasHapus