Halaman

Safriyadin (Syd)

Sabtu, 28 Desember 2019

Siklunisasi Pendidikan Vs Merdeka Belajar


Siklunisasi Pendidikan Vs Merdeka Belajar
(Catatan Kritis, Refleksi Pendidik)

Oleh: Safriyadin, S.Pd., Gr.



Bangsa Indonesia adalah bangsa besar dengan beragam suku, ras, agama, adat-istiadat dan pembiasaan masyarakatnya. Kemajemukan bangsa ini, tentu berbanding lurus dengan rumitnya permasalahan yang dihadapi. Triliunan rupiah digelontorkan untuk keperluan segala sektor pembangunan bangsa. Salah satu sektor yang mendapat gelontoran cukup banyak yang diamanatkan konstitusi yakni sektor pendidikan. Berbicara mengenai sektor ini, seolah-olah mengurai benang kusut yang tak ada ujungnya.

Tujuan pendidikan Indonesia sangat mulia, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sumber daya manusia yang unggul tercipta melalui sistem pendidikan yang berkualitas. Arah pembangunan menuju Indonesia maju dengan SDM unggul tentu sektor pendidikan mempunyai andil yang cukup besar.

Wujudnya pendidikan yang berkualitas untuk Indonesia maju, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sistem pendidikan yang sudah tersusun sedemikian rupa ini, masih terhadang dengan berbagai permasalahan. Dimulai dari kurikulum, administasi guru, hingga status guru dan master plan sistem pendidikan. Sudah menjadi istilah umum “ganti pemimpin, ganti kurikulum” dengan dalih perkembangan zaman. Sebagai orang yang bergelut di dunia pendidikan, mendengar istilah tersebut saja sudah cukup deg-degan dan dibayangkan akan merepotkan dalam penerapannya.

Kurikulum dan pembaharuannya dengan beragam versi dan revisi silih berganti bagai tanaman musiman yang muncul dalam siklus tahunan, bahkan semesteran. Pergantian pemimpin sangat dinanti oleh mereka yang bergelut di dunia pendidikan untuk mendengar arah pikirnya, apakah membawa angin segar untuk pembaharuan dan kemajuan pendidikan atau masih dengan lagu lama “aku masih seperti yang dulu”.

Selama ini, di ruang kelas hanya sebatas interaksi penyampaian kompetensi dan sedikit variasinya yang sudah terprogram secara menyeluruh dan berlanjut setiap hari, setiap semester, dan setiap tahun. Sehingga pembelajaran yang mendalam, kritis, dan bermakna seolah terlewatkan dengan kejar tayang materi. Akibatnya, siswa yang lemah akan semakin tertinggal dan siswa yang kuat akan terus memuncak. Setelah semua kompetensi tersampaikan tepat waktu, tibalah saat ujian yang melelahkan, dan berujung rekapitulasi nilai yang menentukan langkah/jenjang berikutnya. Sudah menjadi rahasia umum, guru akan “berusaha keras” dan sedikit “memaksakan diri” agar nilai anak didiknya bisa mencapai standar kriteria ketuntasan hingga terlihat berhasil. Siklus ini terus berlanjut dengan cara-cara pembelajaran yang sama dan dianggap wajar.

Dimulai dari administrasi yang dibuat seformal mungkin dan pelaksanaannya sesuai juknis, dengan segala hiruk pikuk birokrasi serta kebiasaan “tidak sibuk” siswa beda generasi ini, tapi hasilnya “biasa-biasa saja” dan menjadi rutinitas melelahkan, membuat guru berpikir lebih sulit dengan kenyataan yang mengecewakan ini. Hal ini terus menerus dilakukan, sehingga tidak heran kualitas guru dan anak didiknya menjadi begitu-begitu saja. Inilah yang dinamakan siklunisasi pendidikan.

Namun, ada satu pertanyaan besar, Bagaimana cara agar bisa “keluar” dari kebiasaan formalitas dan siklunisasi pendidikan ini, menjadi suatu proses interaksi alamiah pembelajaran di kelas yang merdeka dan menyenangkan serta mempunyai output SDM unggul?. Hal ini tentu bisa diwujudkan melalui ramuan kebijakan yang memerdekakan dari belenggu sistem siklunisasi pendidikan ini. Misal, administasi dan perencanaan pembelajaran dibuat sederhana, pembelajaran dikemas “sebebas” mungkin, dan evaluasi dibuat praktis, efisien, dan terukur, tanpa ada “teror” ketakutan dan was-was dari anak didik maupun gurunya.

Sekolah hadir memberikan kenyamanan untuk siswa dan guru serta diberikan kemerdekaan untuk menentukan lulusan-lulusan unggul. Melalui pembelajaran yang bermakna dan lingkungan yang kondusif, kemerdekaan belajar dapat dicapai. Terlebih guru harus paham secara mendalam tentang tujuan dan output dari pembelajaran yang dilakukan, dan tidak kaku dengan acuan kompetensi minimal yang ada, serta perlahan “hijrah” dari pola lama siklunisasi pendidikan menjadi pola belajar yang merdeka dan bermakna. Namun, semua hal yang diuraikan di atas akan menjadi sia-sia dan bualan belaka, jika niat baik guru ini masih terganjal dengan kesejahteraannya.

0 comments:

Posting Komentar