Siklunisasi Pendidikan Vs Merdeka Belajar
(Catatan Kritis, Refleksi Pendidik)
Oleh: Safriyadin, S.Pd., Gr.
Bangsa Indonesia adalah bangsa besar dengan beragam
suku, ras, agama, adat-istiadat dan pembiasaan masyarakatnya. Kemajemukan bangsa
ini, tentu berbanding lurus dengan rumitnya permasalahan yang dihadapi. Triliunan
rupiah digelontorkan untuk keperluan segala sektor pembangunan bangsa. Salah satu
sektor yang mendapat gelontoran cukup banyak yang diamanatkan konstitusi yakni
sektor pendidikan. Berbicara mengenai sektor ini, seolah-olah mengurai benang
kusut yang tak ada ujungnya.
Tujuan pendidikan Indonesia sangat mulia, sebagaimana
termaktub dalam pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sumber daya
manusia yang unggul tercipta melalui sistem pendidikan yang berkualitas. Arah pembangunan
menuju Indonesia maju dengan SDM unggul tentu sektor pendidikan mempunyai andil
yang cukup besar.
Wujudnya pendidikan yang berkualitas untuk Indonesia
maju, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sistem pendidikan yang sudah
tersusun sedemikian rupa ini, masih terhadang dengan berbagai permasalahan. Dimulai
dari kurikulum, administasi guru, hingga status guru dan master plan
sistem pendidikan. Sudah menjadi istilah umum “ganti pemimpin, ganti kurikulum”
dengan dalih perkembangan zaman. Sebagai orang yang bergelut di dunia
pendidikan, mendengar istilah tersebut saja sudah cukup deg-degan dan
dibayangkan akan merepotkan dalam penerapannya.
Kurikulum dan pembaharuannya dengan beragam versi dan
revisi silih berganti bagai tanaman musiman yang muncul dalam siklus tahunan,
bahkan semesteran. Pergantian pemimpin sangat dinanti oleh mereka yang bergelut
di dunia pendidikan untuk mendengar arah pikirnya, apakah membawa angin segar
untuk pembaharuan dan kemajuan pendidikan atau masih dengan lagu lama “aku
masih seperti yang dulu”.
Selama ini, di ruang kelas hanya sebatas interaksi
penyampaian kompetensi dan sedikit variasinya yang sudah terprogram secara
menyeluruh dan berlanjut setiap hari, setiap semester, dan setiap tahun. Sehingga
pembelajaran yang mendalam, kritis, dan bermakna seolah terlewatkan dengan
kejar tayang materi. Akibatnya, siswa yang lemah akan semakin tertinggal dan
siswa yang kuat akan terus memuncak. Setelah semua kompetensi tersampaikan
tepat waktu, tibalah saat ujian yang melelahkan, dan berujung rekapitulasi
nilai yang menentukan langkah/jenjang berikutnya. Sudah menjadi rahasia umum,
guru akan “berusaha keras” dan sedikit “memaksakan diri” agar nilai anak
didiknya bisa mencapai standar kriteria ketuntasan hingga terlihat berhasil. Siklus
ini terus berlanjut dengan cara-cara pembelajaran yang sama dan dianggap wajar.
Dimulai dari administrasi yang dibuat seformal mungkin
dan pelaksanaannya sesuai juknis, dengan segala hiruk pikuk birokrasi serta
kebiasaan “tidak sibuk” siswa beda generasi ini, tapi hasilnya “biasa-biasa
saja” dan menjadi rutinitas melelahkan, membuat guru berpikir lebih sulit
dengan kenyataan yang mengecewakan ini. Hal ini terus menerus dilakukan,
sehingga tidak heran kualitas guru dan anak didiknya menjadi begitu-begitu
saja. Inilah yang dinamakan siklunisasi pendidikan.
Namun, ada satu pertanyaan besar, Bagaimana cara agar
bisa “keluar” dari kebiasaan formalitas dan siklunisasi pendidikan ini, menjadi
suatu proses interaksi alamiah pembelajaran di kelas yang merdeka dan
menyenangkan serta mempunyai output SDM unggul?. Hal ini tentu bisa
diwujudkan melalui ramuan kebijakan yang memerdekakan dari belenggu sistem
siklunisasi pendidikan ini. Misal, administasi dan perencanaan pembelajaran
dibuat sederhana, pembelajaran dikemas “sebebas” mungkin, dan evaluasi dibuat
praktis, efisien, dan terukur, tanpa ada “teror” ketakutan dan was-was dari
anak didik maupun gurunya.
Sekolah hadir memberikan kenyamanan untuk siswa dan
guru serta diberikan kemerdekaan untuk menentukan lulusan-lulusan unggul. Melalui
pembelajaran yang bermakna dan lingkungan yang kondusif, kemerdekaan belajar
dapat dicapai. Terlebih guru harus paham secara mendalam tentang tujuan dan output
dari pembelajaran yang dilakukan, dan tidak kaku dengan acuan kompetensi
minimal yang ada, serta perlahan “hijrah” dari pola lama siklunisasi pendidikan
menjadi pola belajar yang merdeka dan bermakna. Namun, semua hal yang diuraikan
di atas akan menjadi sia-sia dan bualan belaka, jika niat baik guru ini masih
terganjal dengan kesejahteraannya.
0 comments:
Posting Komentar